Oh.... Tuhan......
Barangkali ini skenarioMu untuk membersihkan salah dan dosaku di masa lampau. Masa-masa itu sungguh kelam. Aku sungguh malu kepadaMu. Malu untuk memohon ampun apalah lagi malu untuk meminta kepadaMu.
Masa-masa itu ku tak peduli halal haram apa yang aku peroleh dan aku makan. Uang begitu bergelimang, begitu mudah kudapat. Kusangka bisa bergembira dengan limpahan harta. Kusangka orang-orang yang selalu menemaniku adalah teman setia. Iya mereka selalu ada di sekelilingku saat kuminta mereka clubbing dari satu tempat ke tempat lain. Minuman? Ah... sudah biasa. Mabok sudah sehari-hari. Dorongan untuk memuaskan apa mau tubuh begitu kuat. Turuti dan turuti saja naluri ini.
Dari hari ke hari tiada luput dari petualangan. Petualangan yang kusangka membawa kepada keabadian. Kebahagiaan abadi. Ku tak ingat sudah berapa banyak perempuan yang kusakiti. Noda? Ah.. itu bagian dari petualanganku. Tak sedikit yang membelaku saat kubermasalah.
Sampai saat itu datang...
Menjelang subuh sekembali dari club terfavorit di kotaku, masih ada sisa mabuk, kubawa mobil sendiri. Kepala terasa sangat berat, namun aku yakin masih bisa membawa mobil kesayanganku yang kuperoleh setelah memenangkan proyek besar di salah satu institusi Pemerintah, setelah melalui proses dan persaingan yang melelahkan dan mengorbankan tak sedikit modal untuk itu.
Antara sadar dan tidak aku tetap mengendari mobil kesayanganku, sekonyong-konyong truk pengangkut pasir nyelonong didepanku. Aku ingat, saat itu aku berusaha maksimal menginjak rem kuat-kuat, namun entah mengapa, justru mobilku melaju makin kencang,,,,dan......... duuuarrrrr!!! Tabarakanpun tak terhindarkan.
Aku hanya ingat stir mobilku menghantam kuat dadaku, kaki terasa ngilu. Kemudian... semua gelap....
Sayup-sayup terdengar suara adzan saat aku tersadar yang entah berapa jam, berapa hari. Kulihat kanan kiriku, kulihat tubuhku masih terbalut perban, satu kakiku diikat dan ditinggikan dari posisiku berbaring.
Ya Tuhanku......
Oh..... dua kakiku sama sekali tidak bisa kugerakkan. Rasa nyeri di dada makin menjadi. Panas makin menyeruak dalam rongga dada. Sesak.....sesak sekali... Kupikir dicabut nyawa saat itu lebih baik, daripada menanggung sakit tiada terperi dan cacat seumur hidup. Sehari setelah kusadarkan diri kutunggu teman-teman yang biasa bersamaku, hari ketiga ku masih menunggu, seminggu, dua minggu, sebulan. Tidak ada satupun yang muncul. Sakit rasanya... betapa mereka tak pedulikan aku yang telah baik pada mereka. Ingin marah, tapi ke siapa?
Tagihan rumah sakitpun seperti tiada berhenti. Mengalir menggerogoti sisa hartaku. Mobil kujual, rumah kulepas... Tak terasa air mata menitik membasahi mukaku yang baru dilepas perbannya.
Terima kasih Tuhanku......
No comments:
Post a Comment